Hal
yang paling indah dalam hidupku adalah, ketika aku sudah berhenti bernafas dan
melupakan semua urusan yang ada didunia ini
Malam hari, ketika sorotan lampu
temaram menemani seorang wanita berpakaian serba putih duduk disebuah kursi lorong
rumah sakit dengan pandangan kosong mengamati setiap orang lalu lalang yang
lewat didepannya. Raut mukanya sendu, matanya menyipit.
Aku
iri dengan hidup kalian. Lahir dengan bahagia, dibesarkan di keluarga yang
lengkap dan mengenal nama ayah dan ibu kalian.
Aku
iri dengan hidup kalian. Dapat tertawa dengan puasnya, dapat makan dan minum
apa saja, menghabiskan uang berapapun untuk hidup glamour dan pesta pora.
Aku
iri dengan hidup kalian. Tahu apa tujuan hidupmu. Tahu bagaimana menyenangkan
hidup dan tahu bagaimana caranya bahagia.
Aku
iri dengan hidup kalian. Berbagi kasih dengan orang yang kau sayangi. Berbagi
derita dengan orang yang kau cintai. Membesarkan buah hati dengan kasih cinta
kalian.
Bahkan aku? Aku
tak punya 1% pun bagian dari hidup kalian.
Mata
perempuan itu menyapu, ia kemudian bangkit dari kursinya, memasukkan tangannya
kekantong, menegakkan kepalanya yang masih dengan tatapan kosong dan berjalan
menyusuri lorong ini.
“Melanie.” Seorang Dokter Forensik datang terburu buru memanggil
namanya.
Melanie
menoleh, mengamati dokter dengan rambut yang acak acakan. Ia nampak sangat tergesa gesa.
“Bantu
saya mengautopsi jasad asing di ruang autopsy sekarang.”
“Baik
dok.”
Inilah ceritaku.
Menerima perintah dan melaksanakan perintah. Aku hanyalah seorang bawahan.
Perawat disebuah Rumah Sakit dengan upah yang habis untuk menghidupi anak haram
yang lahir dari rahimku dan seorang mama angkatku yang sakit sakitan.
Inilah ceritaku.
Orang yang tak pernah sekalipun merasakan kebahagiaan. Bahkan masa kecilpun
kuhabiskan dengan hidup dipanti asuhan. Aku kira aku akan bahagia ketika aku
diangkat anak. Tapi ternyata aku salah, aku hanya diperalat. Dia tega
menggunakan aku sebagai pembantunya.
Kini dia sedang
sakit, bahkan aku? seperti
terjebak dalam hidupnya. Mengurusinya dan memberinya makan sekarang adalah
kewajibanku.
Melanie
kini sudah mengenakan sarung tangan, jas, lengkap dengan maskernya. Ia sudah
berada didalam ruang autopsy.
“Lepaskan
seluruh pakaiannya. Kita akan memulai autopsinya sekarang juga.”
Melanie
menganggukkan kepalanya dan menghampiri jasad yang sudah terbujur kaku disana.
Astaga!
Mata Melanie melotot.
Siapa dia?
Mengapa dia? Mengapa ia meninggal dengan baju pengantin?Dan mengapa dia tampak
begitu cantik?
# # #
Orang orang berseragam polisi nampak
berkerumun di Tempat Kejadian Perkara. Batas kuning sudah dipasang tanda orang
tidak boleh melintasinya. Ditempat ini korban ditemukan. Duduk manis dengan
gaun pengantin dan menggenggam bunga di gedung kosong ini.
Anjing anjingpun menggonggong saling
sahut saat diminta petugas polisi untuk mngendus siapa dalang dibalik
pembunuhan ini. Suara sirine sedari tadi terdengar. Banyak orang datang
ketempat ini demi mengobati rasa penasaran mereka.
Kilatan kilatan kamera membanjiri tempat ini, reporter wartawan
saling berebut mencari gambar paling bagus. Mereka nampak berlari berbondong
bondong saat seorang detektif yang namanya cukup terkenal datang ketempat itu.
“Semuanya minggir minggir.” Dua orang bodyguard berbadan kekar
melindungi detektif itu dari banyak nya wartawan yang mulai mengerumuninya.
Mata Roy menyipit saat mempelajari berkas yang baru saja diserahkan
polisi kepadanya. Kejadian ini sangat langka dan baru pertama kali terjadi saat
Roy sudah sepuluh tahun menjabat sebagai detektif yang dikenal handal
dilingkungannya.
“Tersangaka masih buron.” Ujar seorang lelaki berseragam itu.
“Sampai saat ini kita belum menemukan titik terang. Tersangka sangat pandai
membersihkan barang bukti. Saya kira tersangka sangat berpengalaman dalam hal
ini.”
Roy hanya menyunggingkan sedikit bibirnya. “Sepintar pintarnya dia
membersihkan para korbannya. Dia tidak bisa mengalahkan hidungku yang pandai
mengendus.” Ujar Roy dengan percaya dirinya.
Polisi itu nampak mngernyit. “Kita masih menunggu autopsi bagaimana
cara Tersangka membunuh korbannya.”
“Hubungi Rumah Sakit kapan hasilnya akan keluar.”
“Sudah saya lakukan. Paling cepat besok.”
Roy kemudian menguap. “Bagus. Paling tidak aku bisa tidur untuk
malam ini.” Dia menguap dengan lebarnya dan meninggalkan tempat itu dan tak
lupa menepuk pundak polisi itu.
Polisi itu hanya mendesis. Beradu mata dengan sesama polisi yang
ada disampingnya. “Sombong sekali dia.” Polisi itu kemudian meludah jijik
melihat punggung detektif itu pergi ditemani dengan dua orang bodyguardnya.
Seseorang dari kerumunan penonton nampak begitu khawatir. Sedari
tadi ia hanya menggenggam ponselnya berusaha menghubungi seseorang. Tapi ia
mulai putus asa. Orang yang dihubunginya tak kunjung menjawab panggilannya.
“Melanie. Kau dimana?” Desisnya.
Panggilannya akhirnya tersambung.
Seorang wanita yang amat ia cintai akhirnya mau menjawab telfonnya.
“Syukurlah kau baik baik saja.”
“Ada apa?”
“Kau dimana?”
“Jangan menghubungiku lagi, aku
sudah muak denganmu.”
“Maaf. Aku hanya terlalu khawatir.
Begitu banyak pembunuhan saat ini. Mulai sekarang jangan pergi sendirian.
Dengan begitu kau akan baik baik saja.”
“Aku sedang sibuk. Aku akan membantu
dokter melakukan autopsi. Kau salah jika kau melarangku pergi sendirian.
Bukankah kau tahu kalau aku selalu sendirian?”
“Tapi Mel.”
Sambungan
terputus.
Rezi hanya bisa mendesah.
Dipandanginya foto gadisnya diwalpaper ponselnya. Ia begitu sangat mencintai
gadis ini. Dan berharap dia akan selalu baik baik saja.
# #
#
“Melanie!” Bentar dokter Gading.
“Tutup telfonmu dan cepat lepaskan seluruh pakaian jasad ini sekarang!”
“Maaf.” Melanie segera memasukkan
ponselnya kesakunya. “Baik dok.”
# #
#
Waktu terus bergulir, dentingan jam
dindingpun terus berjalan dan Rezi masih duduk disudut lorong Rumah Sakit
menunggui wanitanya keluar dari ruang autopsi. Ia sudah terkantuk kantuk namun
ia menahannya.
Ini sudah dini hari dan Rezi masih
bertahan.
Klek.
Suara
kunci pintu dibuka.
Rezi langsung terperangah. Matanya
yang terkantuk tak jadi terpejam. Ia segera bangkit dan berdiri menunggui
Melanie yang keluar dari ruangan itu.
“Hei Mel.” Senyuman Rezi mengembang
ketika ia melihat orang yang ditungguinya sekian lama akhirnya datang.
Melanie bergegas pergi melangkahkan
kakinya menjauh dari Rezi. Langkahan kakinya segera ia percepat menghindari
lelaki ini. Lelaki yang dia kira juga akan membuatnya bahagia. Namun ia salah.
Melanie terlanjur percaya bahwa takdirnya tidak akan pernah bisa bahagia.
“Sudah kubilang jangan pernah temui
aku lagi. Aku tidak mau berurusan dengan orang tua mu lagi.”
“Aku mencintaimu Melanie. Suatu saat
aku yakin orang tuaku akan setuju dengan hubungan kita asalkan kita berjuang
bersama sama.”
Melanie menghentikan langkahnya.
Kini ia berani memandang wajah Rezi dengan tajamnya.
“Berjuang kau bilang? Sekuat apapun
kita berjuang, kita tidak akan pernah menghancurkan karang yang ada dihati
orang tuamu.”
“Melanie.” Kedua tangan Rezi meraih
kepala Melanie yang sudah ingin menangis menumpahkan air matanya.
Plak!
Satu tamparan keras melayang ke
wajah Rezi saat tangan Rezi benar benar menyentuhnya.
# #
#
Sudah hampir shubuh ketika melanie
sudah sampai didepan rumahnya sendiri. Rumah kontrakan kecil yang ia tinggali
bersama anak dan mama angkatnya. Kini ia merebahkan tubuhnya diatas ranjangnya
berharap semua masalahnya selesai ketika ia sudah terlelap nanti.
Suara rengekan anak kecil tiba tiba
menganggunya, suara itu mengusiknya ditengah tengah puncak kelelahannya. Ia
ingin tidur tapi bayi itu sudah bangun. Suara bayi itu kian keras. Teriakannya
menggema. Teriakan anak yang sangat kehausan. Anak itu membutuhkan Melanie.
Sangat membutuhkannya. Tapi Melanie sangat lelah. Lagipula siapa anak itu. Anak
yang lahir bukan karena keinginannya dan telah menghancurkan hidupnya.
“Diam!!” Bentaknya.
Teriakan anak itu kian kencang. Bayi
berumur enam bulan itu sangat kehausan. Dia meronta ingin segera dihapuskan
seluruh dahaganya.
Melanie menutup kedua telinganya
dengan bantal. Ia sudah muak dengan anak itu. Ia ingin segera membuang anak
haram itu. Anak hasil pemerkosaan oleh orang yang tak ia kenal. Kalau bukan
karena dia, pasti dirinya sudah menikah dengan Rezi kekasihnya dan dirinya
tidak akan dihina oleh orang tua Rezi.
“Diam!” Bentaknya lagi.
Tapi rengekan bocah kecil itu terus
menggema. Kerongkongannya sudah nyaris kering. Ia butuh air. Membutuhkan susu
ibunya.
Melanie menoleh kearah bocah lelaki
yang tepat ada disampingnya yang meronta ronta. Tatapan Melanie penuh
kebencian. Penuh dendam. Penuh amarah. Tapi bayi itu tak berdaya, bayi itu
sangat lemah. Bayi itu begitu mungil. Ia hanya haus. Dan apakah Melanie tega
membiarkannya? Membiarkan anak kecil tak berdosa menjerit kehausan.
Tatapan Melanie berubah menjadi
sendu. Perasaan keibuannya mulai muncul. Anak ini tak berdosa. Ia tidak tahu
apa yang dilakukan ayahnya. Ia sama seperti dirinya. Dia hanyalah korban.
“Maafkan mama sayang.” Direngkuhnya
anak itu dengan kasih. Melanie segera membuka kancing seragam susternya dan
mengeluarkan payudaranya, memberikan ASI yang bocah itu inginkan.
Bayi itu dengan rakusnya langsung
melahap puting mamanya. Menyedotnya susu mamanya dengan sangat rakusnya. Ia
sangat kehausan. Akhirnya air mengalir dikerongkongannya. Bayi itu sangat puas.
Isakannya segera berhenti dan tangisnya segera menghilang.
“Anak pintar.” Melanie membelai
rambut anaknya yang tebal. Bayinya tertidur lagi setelah ia puas meminum air
susunya.
Satu kecupan sayang mendarat kedahi
anaknya itu. “Maafkan mama sayang.” Desisnya lagi.
Mngeri juga bacanya , tapi alur ceritanya bagus ! sepertinya authornya mendalami atau menjadi bagian cerita ya ?
BalasHapusqiu qiu, domino qiu qiu,domino 99,dominoqq
bisa jadi kamu seorang penulis yang sangat berbakat. ayo tunjukin bakatmu anak muda. Mencari Tempat bermain Agen Poker, Bandar Ceme Online, agen dominoqq Online terbaik dan terpercaya ? Bergabung bersama kami di > KartuQQ.net Cara mudah bermain Judi Online kekinian karena hanya dengan 1 akun sudah bisa bermain 6 macam permainan
BalasHapusAs stated by Stanford Medical, It is in fact the ONLY reason women in this country live 10 years more and weigh 19 kilos lighter than we do.
BalasHapus(And realistically, it has NOTHING to do with genetics or some secret-exercise and absolutely EVERYTHING around "HOW" they eat.)
BTW, I said "HOW", not "WHAT"...
CLICK this link to see if this brief questionnaire can help you decipher your true weight loss potential