DOWNLOAD NOVEL LOVE IS YOU FREE

DOWNLOAD NOVEL LOVE IS YOU FREE

Sabtu, 04 Juli 2015

BAB 3 - Novel Sleep With The Psycho

Kau tahu apa yang paling menyakiti hatiku?
Ya. Membenci orang yang amat aku cintai mesti aku tak ingin
            Bau anyir formalin menyengat ketika mayat mayat dikeluarkan. Ketiga mayat itu berjejer rapi didepan lima orang dokter Residen yang sedang belajar mengambil gelar spesialis forensiknya.
            Bulu kuduk kelima Residen ini langsung berdiri ketika melihat mayat mayat ini sudah terbujur kaku. Mereka tidak seperti orang mati, mereka hanya nampak tertidur. Kengerian langsung membuncah ketika mendadak angin sore masuk dari jendela dan bertiup lirih menabrak kulit mereka yang kering.
            Mata Rezi perih saat ia mencoba mendekati mayat itu. Bahkan kaca mata yang ia pakai tak banyak membantu melindungi matanya. Aroma bau formalin yang menyengat inipun juga memacu isi lambungnya untuk keluar. Ia sangat mual. Ia ingin muntah. Hal yang sama juga dirasakan keempat kawannya yang sedang mengambil gelar spesialis yang sama dari dirinya.
            Seorang dokter spesialis forensik penanggung jawab mereka akhirnya datang. Ia juga sudah memakai jas, masker dan sarung tangan persis seperti apa yang muridnya kenakan.  Dokter Gading, dokter forensik paling terkenal karena ketelitian dan ketepatan dalam menyelesaikan setiap kasusnya. Dokter yang dikenal dengan loyalitasnya yang tinggi.
            “Perkenalkan mereka koleksi pribadiku.”
            Kelima residen langsung menatap dokter Gading dengan geli. Dia memperkenalkan jasat orang mati tapi santai seperti memperkenalkan barang dagangannya.
            “Yang paling ujung kanan bernama Anton. Dia orang gila yang meninggal akibat tertabrak mobil. Yang tengah bernama Modon. Lelaki yang berusaha mencuri sepeda motor disebuah kampung dan dikeroyok warga sekitar dan akhirnya berakhir disini. Dan yang paling ujung dia yang paling kusuka. Ia bernama Mira, gadis miskin sebatang kara yang akhirnya depresi dan bunuh diri.”
            Mata kelima Residen menyipit. Semua informasi itu tak penting bagi mereka. Mereka disini hanya butuh belajar.
            Dokter itu terkekeh. “Well, saya tahu hari ini adalah hari pertama kalian berada disini. Mari kita mulai saja pelajarannya dari yang paling sederhana. Diatas meja sana.”
Dokter gading menunjuk sebuah meja yang paling berada diujung sendiri. Kelima residen mengikuti arah jari dokter Gading.
“Disana sudah ada semua peralatan yang kalian gunakan untuk membedah mayat ini. Kita akan mulai pelajaran dasarnya dahulu. Saya yakin kalian sudah sangat paham tentang anatomi. Saya akan menunjukkan organ dalam mayat ini dan menunjukkan perbedaan organ yang sehat dan organ yang mengalami kerusakan atau sengaja dirusak. Karena ini penting untuk menunjukkan penyebab suatu jasat meninggal.”
Dokter Gading membenarkan posisi maskernya. Lama kelamaan ia juga tidak tahan akan bau formalin yang terus menyebar.
“Saya akan memanggil orang yang selama ini membantu saya dalam mengautopsi banyak jenasah.” Dokter Gading menoleh mencari orang itu. “Melanie!” Panggilnya.
Melanie kemudian berjalan menghampiri dokter Gading. Ia kini sudah berdiri tepat disampingnya.
“Dia Melanie, dia perawat yang selama ini membantu saya. Saya harap kalian baik baik padanya.” Terang dokter Gading.
“Mel.” Mata Rezi terbelalak melihat orang yang ia cintai berdiri tepat didepannya.
Astaga Rezi?
Melanie kaget melihat Rezi disini berjejer rapi dengan residen residen lainnya. Ia tak pernah tahu kalau Rezi akan meneruskan residen dan belajar di Rumah Sakit ini.
Mata dokter Gading menatap Rezi dan kemudian menatap Melanie.
“Bagus kalau kalian sudah saling mengenal.”         
# # #
            Suara dengungan kereta api terdengar jelas dari tempat ini. Dibawah jembatan ril kereta api, sebuah rumah tak layak pakai bekas robohan sisa sisa bangunan digusur dimana terbaring seorang wanita terlentang dengan kedua tangan dan kakinya terbogol di sudut sudut ujung ranjang ini.
            Wanita paruh baya ini menangis sesenggukan. Ia sudah menjerit sekuat tenaga tapi tak ada orang yang mampu mendengarnya karena mulutnya dibungkam dengan selembar kain. Tangan dan kakinya meronta tapi tetap tak bisa melepaskan diri.
            Pandangannya mengibas ibas. Dia memohon sebuah pertolongan. Air matanya mengucur deras melihat bayangan mengerikan yang membalikkan badannya tepat didepannya.
            “Hai sayang.” Bayangan itu membalikkan badannya membuat wanita itu terbelalak ngeri. Tapi wanita itu hanya bisa menangis dan meronta mengharap belas kasihan untuk dibebaskan.
            “Kau sangat manis. Kau akan menjadi pengantinku yang sangat cantik.”
            Bayangan itu semakin mendekat. Membelai ujung kaki, paha, perut hingga kepala wanita itu. Wanita itu semakin menjerit ketika ia sudah diciumi bayangan yang menakutkan ini.
            “Kau nakal sekali.” Bayangan hitam itu terkekeh melihat wanita yang ada dihadapannya meronta menolak akan permainannya. “Akan kubuat kau menjadi penurut manis.” Bayangan itu menyuntikkan sesuatu kedalam tubuh perempuan itu.
            Lima belas menit kemudian. Suara tangisan itu hilang. Suara ketakutan itu hilang digantikan suara kereta api yang melewati perlintasan rel kereta api ini. Wanita itu sudah tertidur. Tak lagi meronta ronta seperti tadi.
            “Kau sangat cantik jika kau diam seperti ini manis.”
            Bayangan itu tersenyum.
            “Gaun ini sangat cocok denganmu. Mari kita kenakan menggantikan bajumu yang jelek ini.”
            Bayangan itu langsung merobek baju yang wanita itu kenakan dan menggantinya dengan gaun pengantin berwarna merah yang sangat indah.
            “Kau pengantinku yang cantik. Mari kita rayakan malam pertama kita sayang.”
            Bayangan itu menyunggingkan senyumnya sangat lebar. Didalam sana dia sudah menegang, ia ingin segera memasuki pengantin barunya. Nafasnya kemudian memburu menindih pengantinnya dengan sangat liar.
            “Ah sayang. Kau sangat pintar memuaskan aku.” Ujarnya kemudian.
# # #
            Senin pagi, Melanie mendapatkan jatah liburnya dan ingin menghabiskannya dirumah saja. Walaupun Melanie tak pernah mencintai Alif sebagai anak kandungnya. Ia tetap menjalankan kewajibannya sebagai seorang ibu. Ia menyuapi Alif layaknya apa yang biasa ibu lakukan terhadap anaknya.
            Pintu diketuk. Seorang yang sangat Melanie kenal menampakkan batang hidungnya.
            “Hai Melanie.”
            “Mau apa lagi kau?”
            “Aku hanya ingin melihat keadaanmu dan Alif.”
            “Untuk apa?”
            “Karena aku mencintaimu dan mencintai Alif.”
            Melanie segera bangkit dan menyeret lengan Rezi, mendorongnya keluar dari rumahnya.
            “Pergi kau dari sini!”
            “Kenapa Melanie? Dulu ketika aku tidak mengunjungimu kau sering memintaku datang untuk menemuimu. Kenapa sekarang kau seperti ini?” Rezi masih menahan dirinya untuk tetap berada didalam rumah Melanie.
            “Itu masa lalu dan aku tidak mau mengulangnya lagi.” Tatapan mata Melanie tajam kearah Rezi.
            “Kenapa? Kau tahu aku menerimamu apa adanya. Kalau toh kau diperkosa dan melahirkan Alif aku sudah biang aku tidak perduli. Dan untuk mamaku? Kau tahu seharusnya kita berjuang bersama sama.”
            “Aku sudah muak dengan ucapanmu itu. Aku mohon sekarang kau pergi dari sini!”
            “Tapi Melanie. Aku sangat mencintaimu. Aku tidak tahu bagaimana hidupku jika itu tanpamu.”
            Kata kata itu langsung merasuk kejantung Melanie yang paling dalam. Air matanya menetes. Kata kata itu semakin membuat Melanie ingin menyerah. Membuatnya ingin mengakui perasaannya. Dia juga sangat mencintai Rezi.
Tidak!
            Melanie menggelengkan kepalanya.
Kau tahu Melanie? Jika kau bersama Rezi lagi itu akan menjemputmu kelubang penderitaan yang amat dalam dari yang ini. Kau seharusnya tahu bagaimana mama Rezi akan membuatmu semakin menderita! Melanie memperingatkan dirinya sendiri agar tidak luluh akan perkataan Rezi.
            “Keluar kau dari sini!” Lagi lagi Melanie mendorong Rezi dengan sekuat tenaga. Tapi tenaga Rezi begitu kuat. Melanie tak kuasa untuk terus mendorongnya.
            Melanie melangkah mundur. Ia segera menghindar. Melanie berlari kearah Alif yang duduk sendiri didepan TV dan menggendongnya berlari menuju kamarnya.
Brak!
            Melanie menutup pintu kamarnya dengan paksa.
            “Aku tahu Melanie kau juga sangat mencintaiku. Dan asal kau tahu, besok lusa atau kapanpun aku tidak akan lelah untuk datang menemuimu.”
            Didalam kamar Melanie menangis sejadi jadinya sambil memeluk Alif anaknya dengan erat. Ia terus terisak mengapa beban hidupnya sangat tinggi? Ia sudah tak sanggup lagi membohongi perasaanya. Kenapa semua begitu rumit? Ia ingin sekali menyerah.
Hening.
Tiba tiba suasana mulai sepi.
            Melanie yakin Rezi sudah pergi. Dia kini bisa bernafas lega untuk sesaat.
            “Melanie.” Suara parau mengetuk pintu kamarnya.
            Melanie sangat mengenal suara itu. Di mamanya. Mama angkatnya.
            “Kau tidak apa apa?”
Klek.
            Melanie membuka pintu. Dia masih menggendong Alif yang tanpa sadar sudah tertidur didalam gendongannya. Dia menatap mama angkatnya kemudian mengangguk.
            Rambutnya sudah berubah menjadi putih hampir semuanya. Berdirinya sudah tidak tegak lagi. Ia terus terusan batuk karena sesak yang ada di paru parunya.
Dulu mama angkatnya tidak begini sebelum usaha makanannya bangkrut. Dia terkenal sangat menomor satukan penampilan. Tapi setelah bangkrut dia depresi dan sering sakit sakitan.
“Kenapa kau membohongi perasaanmu sendiri? Bukankah kau sangat mencintai Rezi? Dia sangat tulus mencintaimu. Bersatulah kembali pada Rezi. Dan jemput kebahagiaanmu.” Kata mama angkatnya.
“Menjemput kebahagiaanku katamu? Bukankah jika aku bersama Rezi justru kau yang akan menjemput kebahagiaanmu. Kau akan memperalat Rezi karena uangnya dan membuatmu kaya seperti dulu layaknya kau memperalat aku sebagai pembantumu dahulu. Jangan fikir aku tak tahu apa sedang kau fikirkan. Mama.” Melanie menekankan kata yang terdapat pada akhir kalimatnya.
Brak!
            Pintu ditutup lagi dengan keras. Melanie menangis lagi. Begitu banyak kebencian yang ada didalam hatinya hingga ia sudah tak tahu lagi apa yang barusan ia katakan. Dia terduduk bersandarkan pintu. Menyelonjorkan kakinya. Menaruh Alif agar berada dipangkuannya. Tangan kanannya sibuk menyeka air matanya sendiri.
Tuhan.. aku sudah tak sanggup lagi. Desisnya
            Diluar kamar melanie. Mama angkatnya masih berdiri mematung menahan air mata yang akan keluar membasahi pipinya.
            “Maafkan mama atas sikapku dulu. Mama sangat menyesal.” Katanya lagi. Dia kemudian berjalan menuju kursi goyangnya dan duduk bersandar disana. Dia kemudian melamun, seperti biasanya.

BAB 2 - Novel Sleep With The Psycho

Aku sudah menyiapkan racun, pisau dan seutas tali untuk membunuh diriku sendiri kelak
 jika aku sudah tidak kuat lagi. 
            Disebuah sudut Rumah Sakit, Roy memulai penyelidikannya dengan mendatangi dokter forensik yang menangani korban yang menjadi kasusnya kali ini. Roy nampak percaya diri dengan menggunakan jas dan kaca mata hitamnya.
            Dokter forensik yang dikenal bernama Gading itu memberikan satu berkas lengkap tentang penyelidikannya kepada Roy.
“Korban meninggal kira kira dua hari setelah ditemukan. Agak sulit mempercayai ini, tapi tersangka menggunakan suntikan mematikan untuk membunuh korbannya.”
Roy membuka kaca matanya kemudian menyipit.
“Ya. Jenis suntikan yang sangat mematikan, membunuh dengan sangat cepat. Yang langsung menghentikan kinerja jantung korban.”
Kepala Roy menggeleng ketika mengeluarkan berkas yang baru saja ia terima. Beberapa foto dan kertas hasil penyelidikan. Bibir Roy menyungging sebagian ketika melihat foto korbannya yang menggunakan baju pengantin.
“Dan ada satu hal lagi.”
“Selaput dara korban terkoyak. Tapi tak ada jejak sperma disana. Tersangka sangat bersih memperkosa korbannya ini.”
Roy hanya tersenyum sinis. “Kondom.” Celetuknya kemudian.
“Diduga setelah dibunuh korban diperkosa.”
“Baik. Berkas ini akan saya pelajari lagi dikantor. Terima kasih banyak.” Ucap Roy kemudian menepuk pundak dokter itu kemudian pergi.
Disini, Gading hanya memperhatikan Roy dan beberapa polisi itu menjauh dari dirinya. Ia kemudian mendesah dan menggeleng. Paling tidak, tugasnya sudah selesai. Dia sangat lelah, ia ingin istirahat.
# # #
            Bau anyir formalin menyengat ketika jasat korban dikeluarkan dari kamar mayat. Suara tangisan keluarga pecah, memecah kesunyian malam. Jeritan tangis keluarga meledak ditengah keheningan malam yang tenang ini. Sanak keluarganya tak percaya akan ditinggalkan Manda secepat ini.
            Disini Melanie hanya mematung mengamati mereka dengan tatapan kosong. Dari sudut ruangan Melanie hanya bisa melihat mereka. Sorotan matanya tajam ketika melihat jenazah Manda sang korban diderek keluar dari kamar mayat ini menuju Ambulance yang sudah siap untuk menghantarkannya ke rumah duka.
            Matanya menyipit. Kedua tangan Melanie meremas rok suster yang ia kenakan.
Kau sungguh beruntung. Aku cemburu padamu. Ketika kau mati. Begitu banyak orang yang sedih akan kehilanganmu.
Kau sungguh beruntung. Aku cemburu padamu. Kematianmu datang begitu cepat dan segera melupakan urusanmu didunia ini.
Kau sungguh beruntung. Aku cemburu padamu. Kau tak perlu repot repot mempersiapkan pisau, racun ataupun seutas tali untuk bisa mati.
# # #
            Sementara itu, disebuah ruangan. Dimana kertas kertas menumpuk. Ribuan map tersebar diatas meja dengan satu buah komputer dan lampu neon kecil yang hanya mampu menerangi ruang kerja ini.
            Roy disini duduk, mempelajari berkas yang diberikan dokter tadi ditemani dengan seorang rekan kerjanya yang usianya lima tahun lebih muda darinya. Sedari tadi Roy nampak berkonsentrasi. Melihat kertas dan berkas ini satu persatu dengan teliti.
            Jas hitam yang ia kenakan sudah jatuh dibawah lantai. Kini ia hanya memakai hem putih dengan kancing bagian atas yang terbuka. Muka Roy menekuk, tangannya memegangi kepalanya yang otaknya sudah mulai menegang.
            “Suntikan?” Celetuknya lirih.
            Kawan yang ada disampingnya tersentak. Dan langsung melongos menatap Roy.
            “Dari mana tersangka mendapatkan semua bahan itu?”
            “Itu yang sedang kufikirkan.”
            “Barang seperti itu tidak mungkin didapatkan secara cuma cuma dipasaran.”
            “Aku tahu. Yang pasti dia bukan orang sembarangan.”
# # #
            “Melanie.”
            Seorang wanita paruh baya dengan dandanannya yang mencolok, berpakaian sangat ketat sehingga menununjukkan bentuk tubuhnya yang sexy memanggil Melanie yang duduk seorang diri dibangku taman Rumah Sakit yang masih memakai seragam susternya.
            Melanie menoleh. Orang itu sudah datang. Orang yang sudah mengundangnya untuk datang menemuinya. Melanie mendesah. Sebenarnya ia sudah tak mau lagi bertemu atau berurusan lagi dengannya.
            “Terima kasih kau sudah datang dan meluangkan waktunya untukku.”
            Wanita itu sudah berdiri tepat didepannya. Melanie hanya menatap wanita yang tiga puluh tahun lebih tua darinya itu dengan tatapan kosong.
            “Well, sepertinya aku harus langsung bicara padamu ke pokok permasalahannya.”
            Wanita itu langsung duduk berjejer dengan Melanie. Sebelumnya ia mengambil sebungkus rokok yang ada didalam tas jinjingnya, mengambil satu batang dan menyalakannya dengan sungutan api yang sudah ia persiapkan.
            Kepala Melanie agak sedikit menggeleng kearah samping menghindari asap yang mengepul dari mulut wanita itu.
            “Kau mau?” Wanita itu menawari Melanie dengan rokok yang ia bawa. Mengacung acungkan satu bungkus rokok didepan muka Melanie.
            “Tidak. Terima kasih.” Tolak Melanie.
            Bibir wanita itu menyungging sedikit. “Oke. Tak apa.” Dia langsung menaruh rokoknya kembali kedalam tasnya.
            “Aku sudah bilang padamu jangan dekati Rezi lagi. Aku tahu kau diam diam masih berhubungan dengannya.”
            “Aku tidak pernah lagi berurusan dengannya.”
            “Jangan bohong! Aku tahu kalau kemarin kau menemui Rezi.”
            “Dia yang datang menemuiku.”
            Tawa wanita itu meledak. “Bukankah kau yang selama ini mendekati Rezi.”
            Kali ini Melanie berani menatap wanita itu dengan mata yang lebar. “Kau salah. Aku tidak pernah mendekati dia dan aku sudah muak berurusan dengannya bahkan semua orang yang ada dikehidupannya!”
PLAK.
            Satu tamparan keras melayang kemuka Melanie.
            “Muak katamu? Kau perempuan hina menjijikkan beraninya kau bicara seperti itu?” Muka wanita itu merah padam ketika dia dilecehkan seperti ini.
            Melanie hanya memejamkan matanya. Merasakan panas yang ada dipipi kirinya. Rasa sakit itu langsung menjalar kehatinya. Ini sudah sekian kalinya wanita ini memperlakukan dia seperti ini.
            “Oke.” Wanita ini mengatur nafasnya. Menghisap rokok kemudian menatap Melanie lagi. “Maafkan aku.” Katanya lagi.
            Air mata Melanie perlahan menetes. Namun ia menunduk. Ia tak mau wanita itu tahu kalau dirinya menangis. Ia tak mau dikira lemah. Semakin dia lemah semakin wanita ini memperlakukan dia semaunya.
            “Kau seharusnya tahu. Kau bukanlah wanita yang tepat untuk Rezi. Aku tidak mau dia menikahi wanita yang menjijikkan dan tak sederajat dengan kita. Lagipula kau sudah menjadi wanita bekas dari laki laki yang sudah memperkosamu. Aku tidak tahu jadinya anakku akan menikah dengan wanita yang sudah mempunyai anak dari hasil pemerkosaan. Kami keluarga bangsawan dan kami tidak mau nama kami tercoreng hanya karena kau.”
            Satu lagi penghinaan yang terang terangan dilontarkan dari wanita ini. Sakit hatinya bertambah dan air matanya tak mau berhenti mengalir.
            “Untuk terakhir kalinya aku mohon padamu. Rezi saat ini tengah menjalankan wasiat ayahnya sebelum meninggal. Ayahnya sangat ingin Rezi menjadi dokter yang hebat dan mempunyai masa depan yang cemerlang. Dan aku tidak mau wasiat suamiku hancur jika Rezi nekat menikahimu. Aku juga tidak mau masa depan Rezi hancur.”
            Wanita itu kemudian membuang putung rokok yang baru saja ia hisap. Kedua tangannya kini memegang wajah melanie dengan lembut. Menatap Melanie yang matanya sudah mulai memerah karena tangisnya yang tak kunjung mau berhenti.
            “Aku mohon padamu. Jauhi anakku.”
            Melanie seperti bicara pada orang yang mempunyai kepribadian ganda. Ia sudah tak kuat lagi jika harus disakiti terus terusan seperti ini. Akhirnya dalam dekapan kedua tangan wanita itu Melanie menganggukkan kepalanya.
# # #
            Hujan badai. Gadis itu terengah engah meminta pertolongan ditengah perkebunan teh yang sangat luas. Ia terus berlari berusaha menyelamatkan diri. Kaos yang ia pakai sudah robek compang camping sampai hampir lepas dari tubuhnya.
            “Tolong!!” Teriaknya lagi.
            Na’as. Tak ada satupun orang yang mampu mendengar teriakannya ditengah perkebunan teh yang membentang luas di kampung ini. Namun suara dua orang pemuda yang mengejarnya kian keras. Mereka malah tertawa bersama sama.
            “Lepaskan saya!”
            Gadis itu makin mempercepat larinya. Nafasnya tersengal sengal menahan isak tangisnya. Kakinya terhuyung huyung berlari diatas tanah yang tidak rata ini. Namun ia tetap berusaha untuk menyelamatkan diri.
            “Mau lari kemana kau manis?”
            Suara tawa menggelegar bersamaan dengan suara petir yang saling sahut. Dua pemuda itu akhirnya menyebar dan mencari cara untuk menangkap gadis mungil mangsanya itu.
            “Tolong! Jangan!”
            Gadis itu meronta ketika lengannya berhasil digeret oleh salah seorang pemuda yang mengejarnya. Pemuda itu langsung mendorongnya jatuh ketanah sehingga tubuhnya bermandikan lumpur.
            “Jangan!”
            Dia terus meronta berusaha melepaskan dirinya dari cengkeraman tangan dari kedua bajingan ini. Tapi tidak bisa, kaki dan tangannya sudah terkunci oleh kedua lelaki ini. Mereka berhasil membuat gadis ini tak berdaya terbaring diatas tanah yang sudah menjadi lumpur karena air hujan.
            “Lepaskan!”
            Kedua pemuda itu terus teratawa. Mereka langsung melepas baju dan melorotkan celana mereka secara bersamaan.
            “Semakin kau menolak aku semakin terangsang sayang.”
            Pemuda pertama langsung menciumi bibir gadis itu dengan buas. Gadis itu tetap menggeleng geleng melemparkan kepalanya kesegala arah menghindari ciumannya. Tapi lelaki itu tetap memaksa ia terus berusaha mendapatkan bibirnya.
            Cuihhhh.
            Gadis ini meludah tepat dimuka pemuda yang pertama menindihnya.
            “Kurang ajar!”
            Satu hantaman keras mendarat kemuka gadis ini hingga darah mengalir dari hidung dan pinggir bibirnya. Gadis itu langsung merasakan pusing dikepala dan pandangannya mengabur.
            Pemuda kedua dengan liarnya langsung menggerayangi tubuh gadis ini dan segera melepas kaos yang ia kenakan dan melorotkan celananya sampai turun kebawah. Gadis itu sekarang hanya bisa menangis dan terus menangis. Harga dirinya sudah hancur dinjak injak oleh kedua pemuda ini.
            “Aaaaaaaa!!!!”
            Suara teriakan pecah keluar membahana dari mulut gadis kecil tak berdaya ini ketika pemuda yang menindihnya mengoyak dan menembus kedalam dirinya.
            “Melanie Melanie Melanie!!!!!!”
            Sayup sayup terdengar suara mamanya menggoyang goyangkan tubuhnya sambil memanggil manggil dirinya yang sedang menjerit jerit terbaring diatas tempat tidurnya.
            “Bangun Melanie.”
            Perlahan Melanie membuka matanya. Melihat wajah mama angkatnya yang tiba tiba muncul dihadapannya. Melanie kemudian bangkit dari tidurnya, ia melirik bayinya yang ikutan terbangun mengamati dirinya.
            “Kau tidak papa?”
            Melanie mengangguk cepat. Ia bernafas lega. Rupanya ia sedang bermimpi. Kepalanya pusing, ia masih tak bisa melupakan kejadian biadab itu. Setiap hari ia terus dihantui oleh masa lalunya yang kelam. Dan dengan kehadiran Alif bayinya, malah memperburuk keadaan bagi dirinya.
Melanie melirik bayinya yang masih melongo menatap Melanie yang sedari tadi menjerit jerit didalam tidurnya.
            “Syukurlah. Kau tidurlah lagi biarkan Alif mama yang urus.”
            Melanie mengangguk lagi. Ia kemudian merebahkan tubuhnya lagi dan menarik selimutnya dan segera menutup matanya mengistirahatkan otaknya yang sangat lelah.

Aku ingin tidur. Bisakah untuk selamanya?

BAB 1 - Novel Sleep With The Psycho

Hal yang paling indah dalam hidupku adalah, ketika aku sudah berhenti bernafas dan melupakan semua urusan yang ada didunia ini
            Malam hari, ketika sorotan lampu temaram menemani seorang wanita berpakaian serba putih duduk disebuah kursi lorong rumah sakit dengan pandangan kosong mengamati setiap orang lalu lalang yang lewat didepannya. Raut mukanya sendu, matanya menyipit.
Aku iri dengan hidup kalian. Lahir dengan bahagia, dibesarkan di keluarga yang lengkap dan mengenal nama ayah dan ibu kalian.
Aku iri dengan hidup kalian. Dapat tertawa dengan puasnya, dapat makan dan minum apa saja, menghabiskan uang berapapun untuk hidup glamour dan pesta pora.
Aku iri dengan hidup kalian. Tahu apa tujuan hidupmu. Tahu bagaimana menyenangkan hidup dan tahu bagaimana caranya bahagia.
Aku iri dengan hidup kalian. Berbagi kasih dengan orang yang kau sayangi. Berbagi derita dengan orang yang kau cintai. Membesarkan buah hati dengan kasih cinta kalian.
Bahkan aku? Aku tak punya 1% pun bagian dari hidup kalian.
            Mata perempuan itu menyapu, ia kemudian bangkit dari kursinya, memasukkan tangannya kekantong, menegakkan kepalanya yang masih dengan tatapan kosong dan berjalan menyusuri lorong ini.
            “Melanie.” Seorang Dokter Forensik datang terburu buru memanggil namanya.
            Melanie menoleh, mengamati dokter dengan rambut yang acak acakan. Ia nampak sangat tergesa gesa.
            “Bantu saya mengautopsi jasad asing di ruang autopsy sekarang.”
            “Baik dok.”
Inilah ceritaku. Menerima perintah dan melaksanakan perintah. Aku hanyalah seorang bawahan. Perawat disebuah Rumah Sakit dengan upah yang habis untuk menghidupi anak haram yang lahir dari rahimku dan seorang mama angkatku yang sakit sakitan.
Inilah ceritaku. Orang yang tak pernah sekalipun merasakan kebahagiaan. Bahkan masa kecilpun kuhabiskan dengan hidup dipanti asuhan. Aku kira aku akan bahagia ketika aku diangkat anak. Tapi ternyata aku salah, aku hanya diperalat. Dia tega menggunakan aku sebagai pembantunya.
Kini dia sedang sakit, bahkan aku? seperti terjebak dalam hidupnya. Mengurusinya dan memberinya makan sekarang adalah kewajibanku.
            Melanie kini sudah mengenakan sarung tangan, jas, lengkap dengan maskernya. Ia sudah berada didalam ruang autopsy.
            “Lepaskan seluruh pakaiannya. Kita akan memulai autopsinya sekarang juga.”
            Melanie menganggukkan kepalanya dan menghampiri jasad yang sudah terbujur kaku disana.
Astaga!
            Mata Melanie melotot.
Siapa dia? Mengapa dia? Mengapa ia meninggal dengan baju pengantin?Dan mengapa dia tampak begitu cantik?
# # #
            Orang orang berseragam polisi nampak berkerumun di Tempat Kejadian Perkara. Batas kuning sudah dipasang tanda orang tidak boleh melintasinya. Ditempat ini korban ditemukan. Duduk manis dengan gaun pengantin dan menggenggam bunga di gedung kosong ini.
            Anjing anjingpun menggonggong saling sahut saat diminta petugas polisi untuk mngendus siapa dalang dibalik pembunuhan ini. Suara sirine sedari tadi terdengar. Banyak orang datang ketempat ini demi mengobati rasa penasaran mereka.
Kilatan kilatan kamera membanjiri tempat ini, reporter wartawan saling berebut mencari gambar paling bagus. Mereka nampak berlari berbondong bondong saat seorang detektif yang namanya cukup terkenal datang ketempat itu.
“Semuanya minggir minggir.” Dua orang bodyguard berbadan kekar melindungi detektif itu dari banyak nya wartawan yang mulai mengerumuninya.
Mata Roy menyipit saat mempelajari berkas yang baru saja diserahkan polisi kepadanya. Kejadian ini sangat langka dan baru pertama kali terjadi saat Roy sudah sepuluh tahun menjabat sebagai detektif yang dikenal handal dilingkungannya.
“Tersangaka masih buron.” Ujar seorang lelaki berseragam itu. “Sampai saat ini kita belum menemukan titik terang. Tersangka sangat pandai membersihkan barang bukti. Saya kira tersangka sangat berpengalaman dalam hal ini.”
Roy hanya menyunggingkan sedikit bibirnya. “Sepintar pintarnya dia membersihkan para korbannya. Dia tidak bisa mengalahkan hidungku yang pandai mengendus.” Ujar Roy dengan percaya dirinya.
Polisi itu nampak mngernyit. “Kita masih menunggu autopsi bagaimana cara Tersangka membunuh korbannya.”
“Hubungi Rumah Sakit kapan hasilnya akan keluar.”
“Sudah saya lakukan. Paling cepat besok.”
Roy kemudian menguap. “Bagus. Paling tidak aku bisa tidur untuk malam ini.” Dia menguap dengan lebarnya dan meninggalkan tempat itu dan tak lupa menepuk pundak polisi itu.
Polisi itu hanya mendesis. Beradu mata dengan sesama polisi yang ada disampingnya. “Sombong sekali dia.” Polisi itu kemudian meludah jijik melihat punggung detektif itu pergi ditemani dengan dua orang bodyguardnya.
Seseorang dari kerumunan penonton nampak begitu khawatir. Sedari tadi ia hanya menggenggam ponselnya berusaha menghubungi seseorang. Tapi ia mulai putus asa. Orang yang dihubunginya tak kunjung menjawab panggilannya.
“Melanie. Kau dimana?” Desisnya.
            Panggilannya akhirnya tersambung. Seorang wanita yang amat ia cintai akhirnya mau menjawab telfonnya.
            “Syukurlah kau baik baik saja.”
            “Ada apa?”
            “Kau dimana?”
            “Jangan menghubungiku lagi, aku sudah muak denganmu.”
            “Maaf. Aku hanya terlalu khawatir. Begitu banyak pembunuhan saat ini. Mulai sekarang jangan pergi sendirian. Dengan begitu kau akan baik baik saja.”
            “Aku sedang sibuk. Aku akan membantu dokter melakukan autopsi. Kau salah jika kau melarangku pergi sendirian. Bukankah kau tahu kalau aku selalu sendirian?”
            “Tapi Mel.”
Sambungan terputus.
            Rezi hanya bisa mendesah. Dipandanginya foto gadisnya diwalpaper ponselnya. Ia begitu sangat mencintai gadis ini. Dan berharap dia akan selalu baik baik saja.
# # #
            “Melanie!” Bentar dokter Gading. “Tutup telfonmu dan cepat lepaskan seluruh pakaian jasad ini sekarang!”
            “Maaf.” Melanie segera memasukkan ponselnya kesakunya. “Baik dok.”
# # #
            Waktu terus bergulir, dentingan jam dindingpun terus berjalan dan Rezi masih duduk disudut lorong Rumah Sakit menunggui wanitanya keluar dari ruang autopsi. Ia sudah terkantuk kantuk namun ia menahannya.
            Ini sudah dini hari dan Rezi masih bertahan.
Klek.
Suara kunci pintu dibuka.
            Rezi langsung terperangah. Matanya yang terkantuk tak jadi terpejam. Ia segera bangkit dan berdiri menunggui Melanie yang keluar dari ruangan itu.
            “Hei Mel.” Senyuman Rezi mengembang ketika ia melihat orang yang ditungguinya sekian lama akhirnya datang.
            Melanie bergegas pergi melangkahkan kakinya menjauh dari Rezi. Langkahan kakinya segera ia percepat menghindari lelaki ini. Lelaki yang dia kira juga akan membuatnya bahagia. Namun ia salah. Melanie terlanjur percaya bahwa takdirnya tidak akan pernah bisa bahagia.
            “Sudah kubilang jangan pernah temui aku lagi. Aku tidak mau berurusan dengan orang tua mu lagi.”
            “Aku mencintaimu Melanie. Suatu saat aku yakin orang tuaku akan setuju dengan hubungan kita asalkan kita berjuang bersama sama.”
            Melanie menghentikan langkahnya. Kini ia berani memandang wajah Rezi dengan tajamnya.
            “Berjuang kau bilang? Sekuat apapun kita berjuang, kita tidak akan pernah menghancurkan karang yang ada dihati orang tuamu.”
            “Melanie.” Kedua tangan Rezi meraih kepala Melanie yang sudah ingin menangis menumpahkan air matanya.
Plak!
            Satu tamparan keras melayang ke wajah Rezi saat tangan Rezi benar benar menyentuhnya.
# # #
            Sudah hampir shubuh ketika melanie sudah sampai didepan rumahnya sendiri. Rumah kontrakan kecil yang ia tinggali bersama anak dan mama angkatnya. Kini ia merebahkan tubuhnya diatas ranjangnya berharap semua masalahnya selesai ketika ia sudah terlelap nanti.
            Suara rengekan anak kecil tiba tiba menganggunya, suara itu mengusiknya ditengah tengah puncak kelelahannya. Ia ingin tidur tapi bayi itu sudah bangun. Suara bayi itu kian keras. Teriakannya menggema. Teriakan anak yang sangat kehausan. Anak itu membutuhkan Melanie. Sangat membutuhkannya. Tapi Melanie sangat lelah. Lagipula siapa anak itu. Anak yang lahir bukan karena keinginannya dan telah menghancurkan hidupnya.
            “Diam!!” Bentaknya.
            Teriakan anak itu kian kencang. Bayi berumur enam bulan itu sangat kehausan. Dia meronta ingin segera dihapuskan seluruh dahaganya.
            Melanie menutup kedua telinganya dengan bantal. Ia sudah muak dengan anak itu. Ia ingin segera membuang anak haram itu. Anak hasil pemerkosaan oleh orang yang tak ia kenal. Kalau bukan karena dia, pasti dirinya sudah menikah dengan Rezi kekasihnya dan dirinya tidak akan dihina oleh orang tua Rezi.
            “Diam!” Bentaknya lagi.
            Tapi rengekan bocah kecil itu terus menggema. Kerongkongannya sudah nyaris kering. Ia butuh air. Membutuhkan susu ibunya.
            Melanie menoleh kearah bocah lelaki yang tepat ada disampingnya yang meronta ronta. Tatapan Melanie penuh kebencian. Penuh dendam. Penuh amarah. Tapi bayi itu tak berdaya, bayi itu sangat lemah. Bayi itu begitu mungil. Ia hanya haus. Dan apakah Melanie tega membiarkannya? Membiarkan anak kecil tak berdosa menjerit kehausan.
            Tatapan Melanie berubah menjadi sendu. Perasaan keibuannya mulai muncul. Anak ini tak berdosa. Ia tidak tahu apa yang dilakukan ayahnya. Ia sama seperti dirinya. Dia hanyalah korban.
            “Maafkan mama sayang.” Direngkuhnya anak itu dengan kasih. Melanie segera membuka kancing seragam susternya dan mengeluarkan payudaranya, memberikan ASI yang bocah itu inginkan.
            Bayi itu dengan rakusnya langsung melahap puting mamanya. Menyedotnya susu mamanya dengan sangat rakusnya. Ia sangat kehausan. Akhirnya air mengalir dikerongkongannya. Bayi itu sangat puas. Isakannya segera berhenti dan tangisnya segera menghilang.
            “Anak pintar.” Melanie membelai rambut anaknya yang tebal. Bayinya tertidur lagi setelah ia puas meminum air susunya.

            Satu kecupan sayang mendarat kedahi anaknya itu. “Maafkan mama sayang.” Desisnya lagi.